Harga BBM Melonjak, Perkuat Solidaritas Sosial Masyarakat!
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) per 23 Mei silam nampaknya telah menambah rentetan kisah getir masyarakat bangsa ini, termasuk Bali dan juga Jembrana. Berbagai dampak ikutan yang mengiringi kenaikan BBM, seperti turut melonjaknya harga bahan-bahan kebutuhan pokok, pun turut menjadi sebuah dilema tersendiri bagi masyarakat di tengah keterhimpitan hidupnya. Namun diantara berbagai permasalahan ikutan yang terjadi, lunturnya solidaritas dalam bangunan sosial masyarakat menjadi masalah utama akibat guncangan psikologis yang mendera masyarakat.
Jika mau memandang permasalahan ini secara arif, sesungguhnya kenaikan BBM lebih berdampak pada psikologis masyarakat. Meski berbagai kebijakan diluncurkan, khususnya melalui pemberian BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada masyarakat miskin, langkah ini belumlah berpengaruh secara luas.
Ada beberapa kendala yang dihadapi pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Salah satunya, tidak adanya akurasi data yang dimiliki pemerintah. Kondisi tersebut tentunya sangat berpotensi menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Tapi tentu saja, tidak ada alasan untuk menolak BLT!
Meskipun sifatnya jangka pendek, bantuan ini harus dipandang sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat. Jika sekarang ada orang yang sinis memandang BLT itu sebagai sebuah langkah memanjakan masyarakat, hal ini sangatlah tidak beralasan. Sangat tidak rasional jika memandang dan mengklaim BLT mengganggu ketertiban.
Di tengah krisis multidimensi yang menghimpit kehidupan kita, masyarakat harus tetap menjaga solidaritas sosialnya. Tentunya untuk meminimalisir timbulnya masalah akibat bantuan ini, aliran dana BLT harus tetap dikawal agar tidak direcoki kepentingan-kepentingan lain.
*****
Sementara kenaikan BBM sendiri tentunya sangat mempengaruhi kaum buruh karena kenaikan harga tersebut tidaklah diiringi dengan kenaikan upah buruh. Contohnya saja, UMK Jembrana adalah Rp. 737.500. Angka ini hanya diterima buruh yang tergabung dalam SPSI. Tapi di luar itu, upah yang diterima rata-rata dibawah UMK, apalagi yang berstatus sebagai buruh kontrak dan buruh musiman.
Dengan biaya hidup yang meningkat, tentunya jumlah upah yang diterima tidaklah mencukupi kebutuhan kaum buruh. Sementara untuk menuntut kenaikan UMK kepada pemerintah sangatlah mustahil. Karena dalam rentang satu tahun, nilai UMK tidak boleh dinaikkan lagi.
Atas permasalahan tersebut, satu-satunya solusi yang dapat dilakukan adalah dengan menjalin komunikasi aktif dan mengusahakan hubungan industrial yang lebih manusiawi. Artinya, buruh (SPSI) dan perusahaan harus memiliki draft kesepakatan bersama mengenai besaran upah yang diterima buruh. Buruh harus dipandang sebagai investasi, bukan objek semata serta diposisikan sejajar dengan pengusaha. Setidaknya, pihak perusahaan haruslah mau memikirkan kenaikan uang transport dan uang makan para pekerjanya.(wendra)